Akhirnya,
Lombok Tengah. Dalam perjalanan menuju Lombok Tengah aku mengendalikan motor
sewaan sendirian, bisa bayangin gimana? Untungnya, Lombok bukan pulau kriminal dan
sejenisnya, malah sebaliknya, di sini aku merasakan damai dalam tenang. Sembari
fokus menyetir dan mengingat perjalananku di atas kapal yang bertolak selama 18 jam
tepat. Dan mengingat pria berambut cepak yang tiba-tiba menghampiriku ketika kapal
mulai bersandar, jurus yang ku keluarkan tetap stay cool. Aku berusaha keluar
terlebih dahulu dari kapal, nyatanya para calo travel berebut mengampiriku dan mereka melakukan negosiasi argo kendaraan.
“Mbak,
ayo Mbak, ke Mataram, murah”, si kumis dan berjaket kulit mendekatiku.
“Mau
ke mana, Mbak? Ayo saya antar”, pria bertubuh ceking tidak mau kalah.
“Jangan
diam saja, Mbak. Ayo ikut saya saja,” Bapak bertopi biru tua menengahi.
“Mbak
ini pacar saya, Pak. Dia pulang sama saya,” suara pria menyelinap di tengah
bujukan calo dan menghampiriku dengan tas carrier-nya.
Mulai terkejut, bak sinetron FTV yang tayang di SCTV, bisa jadi judulnya “Cintaku
Bersemi di KMP Legundi,” uhui. Dia pun mengikuti langkahku sampai batas parkir
kendaraan, “Makanya, kalau jalan jangan sendirian. Repot kan, kalau sudah
dikerumuni calo travel,” aku hanya bisa tersenyum, dan berucap terima kasih, lalu menabik.
Lamunanku
buyar seketika, beberapa polisi sudah berbaris rapi di depan, terpampang papan
bertuliskan “Maaf Ada Razia Bersama Pengesahan STNK”. Dengan percaya diri ku
serahkan STNK dari motor yang ku rental, tak dinyana melewati batas waktu alias
mati. Tapi, ada beberapa hal yang ku perhatikan di sini, polisi sikapnya ramah
sekali, beda ketika aku di Pulau Jawa. Jika di tempatku, polisi melihat
pengendara motor tidak memakai helm, mungkin saja ia akan mengeluarkan
kata-kata kasar, namun beda dengan keadaan Lombok. Ia menasihati secara halus
dan ramah. Surga memang bertemu orang-orang tersebut. Aku lanjut mengegas motor
dan menuju Desa Sade, terhitung dua kali diberhentikan polisi, karena razia.
Namun, mereka sudah paham dengan surat yang ku bawa.
Hampir
dua jam mengendarai, akhirnya GPS membawaku ke Desa Sade. Dan sungguh beruntung
waktu itu, hanya segelintir wisatawan yang ku lihat, tidak seperti tempat
wisata pada umumnya yang ramai dan penuh sesak. Namun, ada yang membuatku tertarik,
arak-arakan tepat di Desa Sade. Aku beringsut ke tengah kerumunan. Seorang
pemuda menghampiriku, Ia mendekat dan berkenalan, namanya Dito. Setelah berbasa-basi—obrolan kami mengalir, ia pun menjelaskan akan Praje Sunat atau Praje Besunat, dengan Bahasa Indonesia yang
sedikit canggung. Ya aku paham, ia terbiasa menggunakan Bahasa Lombok
sehari-harinya.
Konon,
Praje Sunat tradisi khitan yang dilakukan Suku Sasak. Dan momen ini tidak
hadir setiap saat namun biasanya sering dilaksanakan pada Maulid Nabi, artinya
aku beruntung. Kalau di Jawa mungkin bisa disebut sunat massal, namun bedanya
di sini calon yang mau dikhitan duduk di atas kuda kayu berukuran kecil, dengan
pakaian pengantin, kemudian memakai capuq atau sekilas udeng dari Bali, lalu dipikul sekitar empat orang dewasa.
ramai |
Jalanan
di Desa Sade tidak terlalu riuh, lalu lalang kendaraan pun bisa dihitung jari,
pantas jika arak-arakan tersebut sedikit ramai. Andai Praje Besunat hadir di
tengah-tengah Kota Surabaya, mungkin bisa dimakii karena mengganggu jalan. Ini
enaknya tinggal di Lombok, sunyi. Sembari dipikul, beberapa orang mendendangkan
musik tradisional yaitu Gendang Beleq asli Suku Sasak. Calon yang dikhitan ada
yang sampai tertidur lelap, ia tak sadar, setelah ini rasa sakit akan
menghampiri, dan menjadikan”nya” bentuk yang bagus. Ew, hehe. Dito pun lenyap
di tengah kerumunan.
Tabik,
Semoga
bermanfaat ^ ^