Powered by Blogger.

Kampung Sindang Barang - Lorong Waktu ke Masa Lalu

by - September 05, 2019

Menuju modernisasi saat ini, tak ayal Indonesia mempunyai beberapa daerah yang mempertahankan tradisi. Seperti baru-baru ini yang saya kunjungi, Kampung Budaya, Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Tamansari—Bogor. Pagi itu kendaraan saya tiba di daerah yang sering dijuluki Kota Hujan—Bogor. Namun, setiap singgah di kota ini nyatanya masih sering merasakan suhu panas yang tak berkesudahan. 
 
lenggak lenggok penari (dokumentasi pribadi, use fujifilm xt2)


Kampung Budaya Sindang Barang
Setelah 30 menit merasakan badan ini terguncang, karena jalanan yang tidak sebegitu mulus, saya dan teman-teman sampai jua ke titik tujuan. Kampung Budaya Sindang Barang, namanya, perkampungan yang terletak di kaki Gunung Salak.  Dikelilingi sawah luas membentang, sayangnya sudah memasuki musim panen, hanya tersisa sebagian padi sudah mengering. Di sekeliling juga terdapat jalan-jalan kecil yang menghubungkan kampung-kampung kecil dan bertetangga. 

Kami disambut dengan alunan Angklung Gubrag, ketika memasuki area desa Sindang Barang. Kesenian khas Sunda—dimainkan oleh sekelompok Ibu-ibu paruh baya, dengan alat musik angklung yang terbuat dari bilah bambu. Sebelumnya, saya hanya melihat kesenian tersebut di televisi atau di jejaring sosial. 
 
persembahan angklung gubrak (dokumentasi pribadi, use fujifilm xt2)
ekspresif (dokumentasi pribadi: fujifilm xt2)
konsentrasi (dokumentasi pribadi. use fujifilm xt2)
rampag gendang (dokumentasi pribadi. use: fuji xt2)
lenggak lenggok penari (dokumentasi pribadi. use: fuji xt2)

Seolah memasuki lorong waktu dan merasa seperti berada di jaman dulu ketika pertunjukan Tari Rampak Gendang. Lenggak lenggok penari yang gemulai dan senada dengan tabuhan gendang. Tarian khas Jawa Barat yang diperankan 3 gadis tersebut seperti memanggil kami untuk mengikutinya. Seperti semestinya, Rampak Gendang—serempak dalam menabuhkan gendang dimana membuat penonton benar-benar ingin mengikuti. Sekitar 30 menit dengan sedikit teriakan “He! He! He! He!” dan tabuhan gendang yang kencang tidak membuat mereka berhenti tersenyum. 

Oray orayan, luar léor mapay sawah,
Entong ka sawah, Paréna keur sedeng beukah.
Oray-orayan
Luar-léor mapay kebon
Entong ka kebon, di kebon loba nu ngango”

Diiringi tembang “Oray-orayan”, barisan anak-anak kecil bermain Oray-orayan yang akrab disebut ular-ularan. Penampilan Barudak Kaulinan dari kelompok adik-adik kecilselendang warna-warni, dan pakaian kebaya yang sederhana. Unik, di tengah majunya pariwisata di Indonesia, Kampung Budaya Sindang Barang menjadi salah satu daerah yang mempertahankan tradisi dan budaya, salah satunya permainan anak-anak yang detik ini sudah hampir punah, karena mayoritas anak-anak saat ini lebih asyik dengan gawai yang sedang trend pada era sekarang. 
persiapan oray-orayan
high angle (dokumentasi pribadi)
ekspresif

Parebut Seeng

rumah tetua adat, Mbah Maki
Belum usai, tak dinyana masih tersisa beberapa atraksi, salah satunya Rampag Parebut Seeng—bisa dikategorikan seni bela diri. Hanya dilakukan oleh laki-laki, dengan pakaian hitam-hitam, satu peserta memanggul tungku nasi tradisional, lawan satunya merebut seeng. Pasalnya, Parebut Seeng  bukan dilakukan untuk main-main, melainkan hanya untuk membela diri.

Tidak menyesal, bertemu dengan Tetua Adat, Achmad Mikami Sumawijaya akrab dipanggil Mbah Maki. Wajahnya teduh, beliau tinggal di Imah Gede (rumah besar ketua adat) yang menghadap ke Utara, dan terlihat sawah yang mungkin terbilang cukup lama untuk kembali menghijau. Di depannya terdapat lapangan hijau yang biasa digunakan acara formal, atau pertunjukan seni. Selain Imah Gede juga terdapat Lumbung Padi (Leuit) yang kebetulan sedang direvitalisasi tanpa mengubah bentuk asal. Leuit yang atapnya dilapisi daun kirai, diganti setiap 3 tahun sekali. Di depannya terdapat bubuay , "kepercayaan kami, Bubuay dapat mengusir makhluk halus," Ujar Pak Maki. 
Leuit
Bubuay menghiasi
Travel workshop bersama Mbak Riany
workshop penulisan konten bersama Mbak Dona
Tidak hanya menyaksikan pertunjukan seni, di samping itu saya dan kawan-kawan ID Corners banyak mendapatkan ilmu dari narasumber-narasumber yang sebelumnya belum pernah saya temui, tapi hanya karyanya saja yang pernah saya lihat dan baca. 

Dari travel workshop, saya banyak belajar dari Mbak Dona, menulis itu bukan hanya menulis, konten informatif juga menjadi hal yang terpenting dalam menulis. Tidak sekadar menulis, konten yang informatif juga bercerita jika disandingkan dengan foto yang menarik. Maka dari itu, tidak pernah sia-sia perjalanan saya dari Jakarta menuju Bogor demi mendapat ilmu baru dari Mbak Raiyani si Travel Photographer yang tidak pelit ilmu. 

Banyak juga yang saya dapat dari beliau, foto bukan hanya didapat dalam satu sisi, bisa high angle, low angle, semuanya menarik jika mengambilnya dengan cara yang tepat, dan kamera yang bagus. Kamera yang bagus tersebut, kamera milik sendiri. Kebetulan setiap jalan kemanapun, saya sudah menggunakan fuji sejak tiga tahun lalu, termasuk mengeksplor Kampung Sindang Barang.
jatuh hati with fuji
BTS
Dalam perjalanan kemarin, saya menggunakan kamera Mirrorless dari  Fuji Film X series dengan lensa 35mm f.2. Jatuh hati sejak ia lahir, sudah akrab , dan kini menjadi anak kesayangan saya. Semua kamera fuji membuat saya jatuh hati, beberapa typeyang sudah saya uji coba; XM1, XA3, XA2, XT100, XE3, sampai XT2 yang saya miliki sekarang.

Pengalaman memakai kamera Fuji Film, si praktis yang menarik:
  • Fujifilm selalu memiliki boady yang menarik, cantik untuk digenggam, dan tampil stylish  
  •  Salah satu kamera untuk pemula yang bersahabat, sesuai kebutuhan, sesuai budget yang dimiliki 
  • Tombol kamera hampir mempunyai kesamaan, jadi jika ganti dengan series terbaru pun  kemungkinan besar tombolnya sedikit mirip
  •  Jernih, tajam, sudah pasti. Apalagi jika di-upgrade dengan lensa yang menarik. Bokeh dan warna khasnya membuat betah 
  • Sistem auto focus yang tidak mempersulit. Apalagi beberapa series sudah dilengkapi dengan layar sentuh. 
  • Upgrade fuji? Siapa takut!
Pesan tambahn Menuju Sindang Barang:
Desa Sindang Barang terletak di Desa Pasir Eurih, Tamansari—Bogor. Untuk menjangkaunya, dari stasiun Bogor bisa memakan waktu kurang lebih 30 menit dari Stasiun Bogor kota. Jika Anda tidak membawa kendaraan, bisa sewa ojek online. Namun, kesulitan di kepulangan menuju stasiun. Sebisa mungkin, sewa untuk pulang pergi. Di Sindang Barang, masuk dan melihat pertunjukan hanya bisa di akhir pekan. Jika ingin rombongan atau bermalam pun bisa, penginapan berkisar 300 ribu rupiah per/orang. Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

Pak Maki: 082147876363 atau 
instagramnya: @kampungbudayasindangbarang


Tabik,

Semoga beermanfaat











You May Also Like

8 komentar

  1. tempatnya syik banget, enak buat kimpul dan menari ya, rumah tetuanya juga masih tradisional keren. santai-santai di sana betah bager pasti ya

    ReplyDelete
  2. Wah bisa merasa seakan akan kembali ke zaman dahulu nih ya Mbak. Tradisonalnya terasa banget

    ReplyDelete
  3. Keren banget nih Mbak tempatnya. Bisa travelling sambil mengenal budaya Indonesia zaman dahulu nih ya

    ReplyDelete
  4. Mbak Inayati kenapa demen banget pake kacamata hitam ?

    ReplyDelete
  5. Keren ya Pak Maki dan pengelola kampung ini, kecintaan pada budaya membuatnya melestarikannya dengan berbagai cara

    ReplyDelete
  6. Menuju modernisasi saat ini, tak ayal Indonesia mempunyai beberapa daerah yang mempertahankan tradisi.

    ReplyDelete