Budaya yang Vakum
Suhu mulai dingin, udara Malang pun mulai
menjadi–jadi. Ya biasa, tubuh orang yang lama tinggal di Kota Surabaya beda
dengan orang-orang yang tinggal di Kota Malang. Tepat pukul 12 malam
rupanya, aku telusuri belahan Kota Malang dengan motorku, ya sebut saja dia
pacarku sehari–hari, lebih setia daripada pacarku? Ha? Pacar, Skip!
Bingung, ya jelas bingung harus ngemper di mana? Saudara di Malang pun sudah
tertidur pulas, telepon sudah kucoba berkali-kali. Hm,, patah semangat. Ya
untung saja banyak teman yang singgah di Kota Malang, okeh aku menginap di
tempat kawanku SMP dulu, untung saja dia preman yang baik hati, iyuh -______-
. Kupejamkan mataku sebentar, menghilangkan lelah di badanku ini selama 3
jam perjalanan Surabaya- Malang, jelas capek, wanita mana yang masih kuat dalam
perjalanan beberapa jam di waktu malam. Semua untuk kebaikanku, yah saat ini
kita bahas tentang budaya Indonesia.
Pukul 07:00 tepatnya, mataku sudah mulai fresh. Jalan pun sudah kujelajahi
bersama kawanku. Budaya yang pertama kita jamah yaitu tentang Gong, bayangkan
saja aku masuk kedalam pedesaan ya, yang lumayan warganya masih mampu.
Terkejut, terhentak batinku ketika mengetahui pengrajin Gong itu berkata “
Pengrajin gong ini sudah berdiri sejak zamannya para penjajah, Jepang tepatnya”
Ya, Subhanallah sekali, lantas mengapa sekarang sudah vakum? Bahkan di social
media pun jarang kita temui.
Budaya selanjutnya yang aku kunjungi, yaitu Jaran kepang yang artinya “ Ajaran
yang Gampang” Begitu paparnya si Seniman Mbah Min. Rumahnya benar-benar masih
banyak bangunannya yang berasal dari bambu, mungkin dia sendiri yang
mengaturnya. Kayu-kayu pun di mana-mana, paling banyak di depan rumahnya.
Samping rumahnya sungai besar entah dari mana aliran sungai tersebut, itu bukan
hal yang penting bagiku, yang paling penting budaya yang beliau terapkan,
tentang Jaran Kepang atau Kuda Lumping. Budaya ini pun sudah vakum terlalu
lama, bahkan hampir punah, pantas saja banyak budaya Indonesia yang diambil
negara lain, lah wong Indonesia aja tidak bisa menjaga budayanya sendiri. Anehnya
budaya luar negri yang diambil Indonesia mereka tak pernah marah, lantas
mengapa bangsa atau rakyat Indonesia banya yang tidak terima ketika budayanya
direbut, maka dari itu jagalah budayamu, lestarikanlah mereka, jangan vakumkan
semua itu!
Aku pun belum puas dengan semua itu, masih kutelusuri lagi beberapa desa di
Kota Malang yang memendam beberapa budaya yang khas, ada lagi Topeng
Malangan, topeng ini khas sekali dari Indonesia. Ya, didaerah Pakisaji desa
Kedungmonggo Malang tepatnya, disana terdapat padepokan , padepokan yang
memendam Topeng Malangan, entah topeng maupun tarian disana tempatnya. Aku
memasuki salah satu rumah seniman didesa tersebut, pemilik rumahnya ramah, pas
sekali dengan keadaan tubuhku yang menggigil karena guyuran air langit, dingin
ya dingin sama seperti keadaan hatiku saat itu. Aku terkejut ketika seniman itu
berkata “ Saya terserah dibayar berapa saja hasil karya topeng-topeng saya yang
penting mereka menggunakannya pada tempatnya dan tidak mematikan karya-karya saya”
ya, artinya seniman tersebut jangan sampai topeng tersebut vakum seketika,
lestarikanlah.
Aku memang bukan ahli di bidang seni, tetapi ketika seniman itu bercerita alur
perjalanan budaya itu hatikupun terbuka. Mereka ikhlas dibayar berapapun
hasil karya mereka, haha. Lantas, kalian rela mereka sudah berjuang beberapa
tahun lamanya untuk melestarikan budaya itu tapi kalian membayarnya hanya
dengan beberapa lembar uang saja? Jika aku miliader, kubayar mahal.
Sayang, aku pribadi masih nodong dengan orang tuaku. Aku perhatikan beberapa
ukiran yang mereka telaten sekali mengukirnya, sabar, ikhlas, niat paling
utama, agar hasil seninya bagus. Semua yang dibuatnya secara original, asli
bukan dengan alat bantuan mesin atau alat lainnya. Mereka hanya menggunakan
pisau, jari-jari mereka masih khas untuk mengukir. Lah, terus generasi
penerusnya mana? Hm,, aku pun malu dengan pribadiku sendiri, aku belum bisa
mengembangkan budaya di Negriku sendiri.
Oleh-oleh dari Kota Ngalam,,,
Topeng Malangan dari desa Kedungmonggo, Pakisaji Malang
0 komentar